A. Pendahuluan
Bagi umat islam, ilmu pengetahuan berkaitan erat dengan
keyakinan terhadap al-Quran yang diwayuhkan serta pemahaman mengenai kehidupan
dan alam semesta yang diciptakan. Di dalam keduanya terdapat
ketentuan-ketentuan Allah yang bersifat absolut, dimana yang satu dinamakan
kebenaran Qur’ani (ayat Qur’aniyah). Dan ysng lsinya disebut kebenaran
kauni (ayat Kauniyyah). Kebenaran tersebut hanya dapat didekati oleh
manusia melalui proses pendidikan dengan
berbagai pendekatan dan dilakukan secara continue.
Al-Quran yang diturunkan kepada nabi Muhammad Saw, paling
tidak mengemban fungsi utama, yaitu sebagai hudan, (petunjuk), bayyinah
(penjelas) dan furqan (pembeda). Ketiga fungsi ini sangat relevan dan
mampu menjawab berbagai macam permasalahan sejak al-Quran diturunkan sampai
masa kini, bahkan mampu memberikan keyakinan bagi setiap orang yang bertanya
kepadanya, hal ini tergambar dengan ayat pertama dengan perintah “iqra”
(bacalah). Kata “iqra” ini mengandung berbagai ragam arti, antara lain,
menyampaikan, menelaah, membaca, mendalami, meneliti mengetahui ciri-cirinya
dan sebagainya, yang kesemuanya dapat dikembalikan kepada hakikat “menghimpun”.[1]
Di samping itu Al-Quran juga membawa setidak-tidaknya
tiga wawasan yang perlu dikaji dan di alami. Ketiga wawasan tersebut adalah
wawasan kesejahteraan (al-wa’y al-qashqash),wawasan keilmuan (al-awa’y
al-ilmi) dan wawasan kesejahteraan (al-wa’y al falah).
Mebahas hubungan antara al-Quran dan ilmu pengetahuan bukan
melihat, adakah teori relavitas atau bahasan tentang luar angkasa, misalnya;
atau ilmu komputer tercantum dalam al-Quran akan tetapi yang lebih penting
adakah satu ayat al-Quran yang menghalangi kemajuan ilmu pengetahuan atau sebaliknya,
serta adakah satu ayat al-Quran yang bertentangan dengan hasil kemajuan ilmiah yang
telah teruji kebenarannya? Dengan kata lain, meletakkannya pada sisi “social
pdychoogy” (psikologi soial) bukan pada sisi “history of scientific
progress” (sejarah perkembangan ilmu pengetahuan).
Pandangan AL-Quran tentang ilmu teknologi dapat diketahui
prinsip-prinsipnya dari wahyu pertama yang diterima oleh nabi Muhammad SAW.[2]
wahyu pertama itu tidak menjelaskan apa yang dibaca, karena al-Quran
menghendaki apa saja yang dibaca umatnya untuk membaca apa saja selama bacaan
itu didasarkan pada bismi Rabbik, yakni bermanfaat bagi kesejahteraan
dan kehidupan manusia. Hal ini mengandung pengertian bahwa objek perintah iqra
mencakup segala sesuatu yang dapat dijangkau oleh akal pikiran manusia.
Dari wayu pertama tersebut diperoleh isyarat bahwa ada
dua cara perolehan dan pengembangan ilmu, yaitu Allah mengajar dengan pena yag
telah diketahui oleh manusia sebelumnya., dan mengajar tanpa pena yang belum
diketahui caranya. Artinya bahwa cara pertama, adalah belajar
menggunakan media atau alat bantu atas dasar usaha manusia. Cara kedua, mengandung
arti bahwa mengajar tanpa menggunakan media alat bantu atas dasar usaha
manusia. Cara kedua, mengandung arti bahwa mengajar tanpa menggunakan
alat dan usaha manusia. Walaupun demikian, keduanya berasal dari sumber utama,
yaitu Allah SWT.
Eksistensi manusia baik posisinya sebagai makhluk sosial
maupun individual tidak akan terlepas dari kebutuhannya akan ilmu pengetahuan. Bahkan
tinggi rendahnya kedudukan manusia di muka bumi ini, salah satunya ditentukan
oleh ilmu Bahkan tinggi rendahnya kedudukan manusia di muka bumi ini, salah
satunya ditentukan oleh ilmu yang dimilikinya, disamping faktor lainya seperti
nilai ketakwaan[3].
Disamping itu juga, ilmu pengetahuan dapat menentukan kualitas keimanan
seseorang, sekalipun manusia dilahirkan tidak mengetahui apa-apa (la
ta’lamuna syaia)[4].
Namun demikian, dalam perkembangan berikutnya, manusia sebagai anak cucu Adam,
mengetahui pengetahuan dengan berbagai cara dan pendekatan dengan
mendayagunakan berbagai potensi yang dimilikinya baik fisik maupun fsikis.[5]
B. TEKS
DAN TERJEMAH AYAT
1. Teks
Ayat
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي
الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوا يَفْسَحِ اللهُ لَكُمْ وَإِذَا قِيلَ انْشُزُوا
فَانْشُزُوا يَرْفَعِ اللهُ الَّذِينَ آمَنُوْا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا
الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ (11) [المجادلة/11]
2.
Terjemah Ayat
“Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah
dalam majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan
untukmu. dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka berdirilah,
niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan
orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha
mengetahui apa yang kamu kerjakan.”(QS. Al-mujadalah : 11)
C.
Hukum Ilmu Tajwid
NO
|
Lapadz
|
Hukum
Tajwid
|
Alasan
|
Keterangan
|
1
|
|
Mad
Ja-iz Munfashil
|
Huruf
mad, alif bertemu dengan hamzah yang
pisah satu kalimat.
|
Mad
Ja-iz Munfashil terjadi jika mad ashli dan hamzah berada pada dua kata yang
terpisah. Cara membacanya boleh dipanjangkan 2 harakat (hadr), empat
harakat (tadwir), atau lima harakat (Tartil).
|
2
2
|
|
Alif
Lam Syamsiyyah
|
Alif
Lam menghadapi salah satu huruf Syamsiyyah yakni
|
Lam ta’rif yang dibaca samar
karena menghadapi huruf Syamsiyyah yang 14. Ciri dari alif lam syamsiah
adalah dengan tasydid.
|
3
3
|
|
Mad
Asli/ Mad Thabi’i
|
Ya mati berbaris ke kasroh
|
Apabila ada alif mati berbaris
ke fathah, wau mati berbaris ke dhomah,Dan ya
mati
Berbaris ke kasrah. Panjangnya
satu alif atau dua harakat.
|
4
4
|
|
Mad
Badal
|
‘irof
fathah berdiri pada huruf alif
|
Apa bila ada i’roffathah berdiri
pada huruf alif itu hukumnya Mad Badal. Mad artinya panjang Badal artinya
Pengganti ( dari pada )
|
5
5
|
|
Mad
Ja-iz Munfashil
|
Huruf mad, alif bertemu dengan hamzah yang pisah satu
kalimat.
|
Mad Ja-iz Munfashil terjadi jika
mad ashli dan hamzah berada pada dua kata yang terpisah. Cara membacanya
boleh dipanjangkan 2 harakat (hadr), empat harakat (tadwir),
atau lima harakat (Tartil).
|
6
6
|
|
Mad
Asli/ Mad Thabi’i
|
Alif
mati berbaris ke Fathah.
|
Apabila ada alif mati berbaris
ke fathah, wau mati berbaris ke dhomah,Dan ya
mati
Berbaris ke kasrah. Panjangnya
satu alif atau dua harakat.
|
7
7
|
|
Idzhar Syafawi
|
Mim
sukun bertemu dengan salah satu huruf idzhar syafawi, yaitu ta. Dan dibaca
secara jelas
|
Mim bersukun
bertemu dengan huruf hijaiyyah selain mim(
) dan ba ( ). Dan dibaca secara
jelas. Syafawi artinya dua bibir, jadi membacanya harus jelas.
|
8
8
|
|
Mad
Asli/Mad Thobi’i
|
Wau
mati berbaris ke dhomah
|
Apabila ada alif mati berbaris
ke fathah, wau mati berbaris ke dhomah,Dan ya
mati
Berbaris ke kasrah. Panjangnya
satu alif atau dua harakat.
|
9
9
|
|
Alif
Lam Qamariyyah
|
Alif lam mati bertemu dengan
salah satu huruf qamariyyah yaitu ( )
|
Lam ta’rif yang dibaca jelas.
Ciri dari alif lam qamariyyah adalah sukun. Lam dibaca jelas apabila bertemu
dengan salahsatu huruf-huruf qamariyyah yang 14.
|
1
10
|
|
Hamez
|
Huruf
yang hidup menghadapi salah satu huruf Hamez yaitu
( )
|
Apabila huruf yang hidup
Menghadapi salah satu huruf Hamez yang
10
Bacanya harus di keluarkan angin
.
|
11
11
|
|
Tarqiq
|
Sebelum
lafadz Allah berharakat kasrah
|
Apabila sbelum lafadz Allah/ Ra
huruf sebelumnya berharakat kasrah. Dibacanya tipis.
|
12
12
|
|
Idzhar Syafawi
|
Mim sukun bertemu dengan salah
satu huruf idzhar syafawi, yaitu ta. Dan dibaca secara jelas
|
Mim bersukun bertemu dengan
huruf hijaiyyah selain mim( ) dan ba
( ). Dan dibaca secara jelas.
|
3
13
|
|
Ikhfa
|
Nunmati/tanwin bertemu dengan
salah satu huruf Ikhfa ( )
|
Nun mati atau tanwin menghadapai
salah satu huruf Ikhfa yang 15 dengan dibaca samar-samar.
|
14
14
|
|
Ra’ Tafkhim
|
Karena huruf Ra jatuh setelah
harokat fathah
|
Apabila sebelum lafadz ra huruf
sebelumnya berharakat fathah dan dhomah. Dibacanya tebal.
|
15
15
|
|
Alif Lam Syamsiyyah
|
Alif Lam menghadapi salah satu
huruf Syamsiyyah yakni
|
Lam ta’rif yang dibaca samar
karena menghadapi huruf Syamsiyyah yang 14. Ciri dari alif lam syamsiah
adalah dengan tasydid.
|
1
6
16
|
|
Idzar Syafawi
|
Mim sukun bertemu dengan salah
satu huruf idzhar syafawi, yaitu ka. Dan dibaca secara jelas
|
Mim bersukun
bertemu dengan huruf hijaiyyah selain mim(
) dan ba ( ). Dan dibaca secara
jelas. Syafawi artinya dua bibir, jadi membacanya harus jelas.
|
17
17
|
|
Alif
Lam Qamariyyah
|
Alif lam mati bertemu dengan
salah satu huruf qamariyyah yaitu (
)
|
Lam ta’rif yang dibaca jelas.
Ciri dari alif lam qamariyyah adalah sukun. Lam dibaca jelas apabila bertemu
dengan salahsatu huruf-huruf qamariyyah yang 14.
|
18
18
|
|
Idgham
Bigunnah
|
Nun
mati menghadapi salah satu huruf idgham bigunnah yaitu.
|
Nun bersukun atau tanwin bertemu
salah satu dari empat huruf idgham yang terkumpul dalam lafadz :
Cara membacanya dengan
memasukkan suara nun bersukun atau tanwid kepada huruf idgham.
|
19
19
|
|
Mad
Aridl lis Sukuun
|
Mad asli yang dibaca waqaf pada
huruf yang bersukun
|
Mad ashli yang diwaqafkan karena
hakikatnya sendiri ialah mad ashli yang terkena waqaf secara tiba-tiba ,
walaupun di tengah kalimat. Cara membacanya bisa 2,4 dan 6 harakat.
|
D. Asbab
an-Nuzul Ayat
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Muqotil bahwa ayat ini turun pada hari
jumat. Ketika itu, melihat beberapa sahabat yang dulunya mengikuti perang badar
dari kalangan muhajirin maupun anshor.[6]
diantaranya tsabit ibn qais mereka telah didahului orang dalam hal tempat
duduk. Lalu merekapun berdiri dihadapan rasulullah saw kemudian mereka
mengucapakan salam dan Rasullullah menjawab salam mereka, kemudian mereka
menyalami orang-orang dan orang-orang pun menjawab salam mereka. mereka berdiri
menunggu untuk diberi kelapangan, tetapi mereka tidak diberi kelapangan.
Rasullullah merasa berat hati kemudian beliau mengatakan kepada orang-orang
disekitar beliau ,”berdirilah engkau wahai fulan, berdirilah engkau wahai
fulan”. Merekapun tampak berat dan ketidak enakan beliau tampak oleh mereka.
kemudian orang-orang itu berkata, “demi Allah swt, dia tidak adil kepada
mereka. orang-orang itu telah mengambil tempat duduk mereka dan ingin berdekat
dengan Rasulullah saw tetapi dia menyuruh mereka berdiri dan menyuruh duduk
orang-orang yang datang terlambat. [7]
E.
Penafsiran Mufassir
1.
Deskripsi Surat Al-Mujadalah
Surah Al-Mujadalah ayat 11 ini
memberikan gambaran tentang perintah bagi setiap manusia untuk menjaga adab
sopan santun dalam suatu majlis pertemuan dan adab sopan santun terhadap
Rasulullah Saw. Al-Mujadalah merupakan salah satu surat dalam al-qur’an dengan
jumlah 22 ayat. Surat ini turun di Madinah. Yang diturunkan sesudah surat
Al-Munaafiqun.[8]
Termaksud golongan surat madaniyah. Surat ini dinamai “al-Mujadalah”( wanita
yang mengajukan gugatan), karena pada awal surat ini disebutkan bantahan seorang wanita. Dan
dinamai juga “al-Mujadalah” yang berarti perbantahan. Pada ayat 11 menerangkan
bahwa Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang beriman dan orang-orang
yang berilmu beberapa derajat.
2.
Penafsiran Mufasir
a.
Al-Imam Ibnu Katsir ( Tafsir Ibnu
Katsir )
Allah berfirman seraya mendidik hamba-hamba-Nya yang beriman seraya
memerintahkan kepada mereka untuk saling berbuat baik kepada sesama mereka
didalam suatu majelis: ( )
“Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu ;
Berlapang-lapanglah dalam majelis. “Dan dibaca ( ) “Maka
lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. “yang demikian
itu karena balasan itu sesuai dengan perbuatan, sebagaimna ditegaskan didalam
suatu hadist shahih:
“Barang siapa membangun masjid karena Allah, maka Allah akan membangunkan
baginya sebuah rumah di syurga.”
Dan dalam hadist lain disebutkan,
Rasulullah saw bersabda:
“Barang siapa memberikan kemudahan kepada orang yang ada dalam kesulitan,
maka Allah akan memberikan kemudahan di dunia dan di akhirat. Dan Allah
senantiasa membantu seorang hamba selama itu terus membantu saudaranya.[9]
Oleh karena itu Allah Ta’ala berfirman( )“maka lapangkanlah niscaya
Allah akan memberi kelapangan untukmu. “Qatadah mengatakan: “Ayat ini turun
berkenan dengan majlis-majlis Dzikir. Yaitu, jika mereka melihat salah seorang
diantara mereka datang, maka mereka tidak memberikan peluang kepadanya untuk
duduk di dekat Rasulullah. Kemudian Allah Ta’ala menyuruh mereka memberikan
kelapangan sesama mereka. “sedangkan Muqatil bin Hayyan berkata: ayat ini
diturunkan pada hari jum’at.”
Imam Ahmad dan Imam asy-Syafi’i
meriwayatkan dari Ibnu “Umar, bahwa sannya Rasulullah telah bersabda:
“janganlah seseorang membangunkan orang lain dari tempat duduknya lalu dia
menempati tempat duduk itu, tetapi hendaklah kalian melapangkan dan meluaskan,”
(HR.Al-Bukhari,Muskim dari hadits Nafi’)
Dan Imam asy-Syafi’i meriwayatkannya
dari jabir bin ‘Abdillah bahwa rasulullah bersabda:
“janganlah seseorang dari kalian membangunkan dari saudaranya (dari tempat
duduknya) pad hari Jum’at. Tetapi hendaklah mengatakan: ‘Lapangkanlah kalian.”
Hadits tersebut diriwayatkan berdasarkan syarat sunan, tetapi mereka
tidak meriwayatkannya.
Para ahli fiqih berbeda pendapat
tentang boleh tidaknya berdiri untuk menyambut orang yang datang. Perbedaan
pendapat ini terbagi menjadi beberapa pendpat. Ada diantara mereka yang
memberikan keringanan untuk berdiri dengan berlandaskan pada hadits:
“berdirilah kalian untuk menyambut pemimpin kalian”
Ada juga yang melarang berdiri menyambut orang yang datang dengan
berdasarkan hadits ini:
“Barang siapa yang suka disambut oleh orang-orang dengan berdiri, maka
hendaklah ia menduduki tempatnya di Neraka.
Dan diantara mereka ada juga yang
merinci, dimana mereka ini mengatakan, dibolehkannya menyambut orang yang
datang dari perjalanna jauh atau seseorang pejabat di dalam kekuasaannya.
Sebagaimana yang ditunjukkan oleh kisah Sa’ad bin Mu’adz, yaitu yang merupakan
pejabat di Bani Quraizhah, dimana ia diminta nabi untuk datang. Ketika ia tiba,
Rasulullah berkata kepada kaum muslimin:
“berdirilah kalian menyambut pemimpin kalian”
Hal itu dimaksudkan untuk
menguatkan posisi Sa’ad dalam kedudukannya. Waullaahu a’lam. Adapun
menyambut orang-orang yang datang dengan berdiri itu sebagai suatu kebiasaan,
maka hal itu merupakan syi’ar non Islam.
Dan dalam beberapa kitab as-Sunan disebutkan: “Tidak ada seorangpun
yang lebih dicintai oleh para Sahabat Nabi selain Rasulullah sendiri. Dan jika
beliau datang, mereka tidak berdiri untuk menyambut kedatangan beliau karena mereka
mengetahui ketidak sukaan beliau terhadap hal tersebut.”
Dan dalam hadist yang
diriwayatkan dalam kitab as-shunah, bahwa Rasulullah senantiasa duduk
diujung majelis, tetapi tempat di mana beliau duduk itu selalu menjadi pusat
perhatiaan majelis. para pejabat duduk sesuai dengan kedudukan mereka. Abu
bakar duduk disebelah kanan beliau,
sedangkan ‘Umar duduk disebelah kiri beliau. Dan sering kali ‘Utsman dan ‘Ali
berada di hadapan beliau. Sebab, keduanya termaksud guru tulis yang menulis
wahyu dan beliau memang menyuruh keduanya melakukan hal tersebut. Sebagaimana yang
diriwayatkan oleh imam muslim dari Abu Mas’ud, bahwa Rasulullah bersabda:
“Hendaklah orang-orang yang sabar dan berfikir luas duduk didekatku,
kemudian disusul oleh orang-orang berikutnya.”
Yang tidak lain itu supaya mereka
dapat memahami apa yang beliau sampaikan.
Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Mas’ud, ia bercerita: Rasulullah
senantiasa mengusap pundak-pundak kami dalam shalat seraya mengatakan.
“Luruskan dan janganlah kalian berselisih yang menyebabkan hati kalian pun
tercerai-berai. Hendaklah orang-orang yang sabar lagi berfikir luas menempati
tempat setelahku, kemudian disusul oleh orang-orang setelahnya, dan setelah itu
orang-orang setelahnya.”
“Abu mas’ud mengatakan:”Sedangkan
kalian sekarang ini lebih parah perselisihannya. “demikian hadist yang
diriwayatkan oleh Muslim dan beberapa penulis kitab as-Sunah kecuali
at-Tharmidzi melalaui beberapa jalan dari al-A’masy. Jika demikian perintah
Rasulullah kepada sahabatnya dalam shalat. Yaitu supaya orang-orang yang
berakal berilmu menempati posisi setelah beliau, maka di luar shalat sudah
pasti lebih dari itu.
Abu Dawud meriwayatkan dari
‘Abdullah bin ‘Umar, bahwasannya Rasulullah telah bersabda:
“Luruskanlah barisan dan rekatkanlah
antar pundak dan isilah tempat yang kosong,berlemah lembutlah kalian dihadapan
saudara-saudara kalian dan janganlah kalian berikan sela untuk syaitan. Dan
barang siapa yang menyambung barisan maka Allah akan menyambung dirinya, dan barang
siapa memutuskan barisan, maka Dia pun akan memutuskan diirnya.”
Demikian ‘Ubay bin Ka’ab, tokoh
ulama tafsir, apabila iya sampai pada shaff pertama ia menarik seorang yang
awam dan menempatinya (di shaff tersebut) sambil berhujjah dengan hadist ini:
“Hendaklah orang-orang yang sabar lagi berfikir luas menempati tempat setelahku”
Sedangkan ‘Abdullah bin ‘Umar
tidak mau duduk di tempat di mana seorang duduk padanya lalu berdiri untuknya,
dalam rangka menerapkan hadist yang telah disebutkan sebelumnya. Kami cukuplah
disini tentang contoh-contoh yang berkaitan degan ayat ini, dan menjelaskan
lebih luas memerlukan tempat tersendiri. Dan dalam hadist shahih diceritakan
kepada rasulullah duduk, tiba-tiba ada tiga orang datang, salah seorang
diantara mereka langsung mendapatkan tempat kosong di sela-sela barisan, lalu
ia mengisinya salah seorang lagi duduk di belakang barisan, lalu ia mengisinya,
salah seorang lagi duduk di belakag orang-orang sedang yang ketiga pergi
meninggalkan majelis. Maka Rasulullah bersabda;
“Maukah aku beritahu kepada kalian tentang ketiga orang itu, Adapun orang
yang pertama. Maka ia berlindung kepada
Allah dan Allah pun melindunginya. Kemudian orang yang kedua merasa malu
sehingga Allah pun merasa malu kepadanya. Dan orang yang ketiga berpaling
sehingga Allahpun berpaling darinya.”
Imam ahmad meriwayatkan dari
‘Abdullah bin ‘Amr, bahwasannya Rasulullah bersabda:
“Tidak dibolehkan bagi seseorang memisahkan dua orang kecuali dengan ijin
keduanya”
Demikian yang di riwayatkan oleh Abu Dawud dan at-Tarmidzi dari hadist ‘Utsman bin Zaid al-Laitsi. Hadist
tersebut di hasankan oleh at-Tarmidzi.
Mengenai firman-Nya
“dan apabila dikatakan: “berdirilah kamu, maka berdirilah,”
hendaklah” kalian Qatadah mengatakan: “Artinya, jika kalian diseru kepada
kebaikan, maka hendaklah kalian memenuhinya.” Sedangkan Muqatil mengatakan:
“jika kalian diseru mengerjakan shalat, maka hendaklah kalian memenuhinya.”
Dan firman Allah Ta’ala:
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang
yang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah mengetahui
apa-apa yang kamu kerjakan.”Maksudnya, janganlah kalian berkeyakinan bahwa jika salah seorang diantara
kalian memberi kelapangan kepada saudaranya, baik yang datang maupun yang akan
pergi lalu dia keluar, maka akan mengurangi haknya. Bahkan hal itu merupakan
ketinggian dan perolehan martabat disisi Allah. Dan Allah tidak menyia-nyiakan
hal tersebut, bahkan Dia akan memberikan balasan kepadanya di dunia dan
diakhirat. Sesungguhnya orang yang merendahkan diri karena Allah, maka Allah
akan mengangkat derajat akan, memashurkan namanya. Oleh karena itu, Dia
berfirman.
“Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang beriman diantara kamu dan
orang-orang yag diberi pengetahuan beberapa derajat”.”Dan Allah mengetahui apa
yang kamu kerjakan: “ maksudnya, Dia Maha mengetahui orang-orang yang memang berhak mendapatkan
hal tersebut dan orang-orang yang tidak berhak mendapatkan hal tersebut dan
orang-orang yang tidak berhak mendapatkannya.
b. HAMKA (
Al-Azhar )
Menurut Prof.DR.Hamka dalam Tafsir
Al-Azhar memberi judul pada penafsiran
surah al-Mujadalah ayat 11 ini yang berjudul “Sopan Santun (Etiket) Suatu
Majlis . Tentu saja berkerumunlah shahabat-shahabat Rasulullah saw. mengerumuni
beliau karena ingin mendengar butir-butir dan nasehat dan bimbingan beliau. Dan
apabila masyarakat itu kian berkembang kian banyaklah majlis tempat berkumpul
membincangkan hal-hal yang penting . Tentu saja majlis demikian kadang-kadang
rnenjadi sesak dan sempit , karena banyaknya orang yang duduk . Dan
kadang-kadang orang yang terlebih dahulu masuk mendapat tempat duduk yang bagus
sedang yang datang kemudian tidak dapat masuk lagi. Kadang kadang pula disangka
oleh yang datang kemudian bahwa tempat buat duduk di muka sudah tidak dapat
menampung orang yang baru datang lagi , sehingga yang baru datang terpaksa
duduk menjauh. padahal tempat yang di dalam itu masih lapang . Kadang-kadang
orang yang telah enak duduknya di dalam itu kurang enak kalau ada yang baru
datang meminta agar mereka disediakan tempat.
Maka datanglah peraturan dari
Allah sendiri yang mengatur agar majelis itu teratur dan suasananya terbuka
dengan baik .
"Wahai orang-orang yang
beriman! Apabila dikatakan kepadamu berlapang-lapanglah pada majlis-majlis,
maka lapangkanlah, [pangkal ayat 11].
Artinya bahwa majlis, yaitu duduk
bersama. Asal mulanya duduk bersama mengelilingi Nabi karena hendak mendengar
ajarun-ajaran dan hikmat yang akan beliau keluarkan. Tentu ada yang datang
terlebih dahulu, sehingga tempat duduk bersama itu kelihatan telah sempit.
Karena di waktu itu orang duduk bersama di atas tanah, belum memakai kursi
sebagai sekarang. Niscaya karena sempitnya itu, orang yang datang kemudian
tidak lagi mendapat tempat. Lalu dianjurkanlah oleh Rasul agar yang telah duduk
terlebih dahulu melapangkan tempat bagi yang datang kemudian. Sebab pada
hakikatnya tempat itu belumlah sesempit apa yang kita sangka. Masih ada tempat
lowong, masih ada ternpat untuk yang
datang kemudian. Sebab itu hendaklah yang telah duduk lebih dahulu melapangkan
tempat bagi mereka yang baru datang itu.
Karena yang sempit itu bukan
tempat, melainkan hati. Thabi'at mementingkan diri pada manusia sebagai kesan
pertama, enggan memberikan tempat kepada yang baru datang itu.
Oleh sebab itu apakah yang mesti
dilapangkan lebih dahulu, tempatkah atau hati ? Niscaya hatilah ! Sebab bila
kita lihat orang baru datang , kesan pertama ialah enggan memberikan tempat .
Perhatikanlah orang yang menumpang kereta api yang telah bersempit-sempit.
Tempat duduk hanya buat dua orang tetapi penumpang telah lebih dari hinggaan ,
sehingga banyak yang berdiri. Orang yang telah duduk tidaklah akan
mempersalahkan orang yang naik kemudian itu untuk duduk ke dekatnya, sebab dia
hendak mempertahankan haknya. Biarkan saja dia berdiri berjam-jam ! Masa bodoh!
Tetapi kalau yang datang kemudian
itu kenalan baiknya, akan segera orang itu disuruhnya duduk. Ataup:m yang baru
datang itu dengan sikap hormat memohon sudilah kiranya memberikan peluang
baginya untuk turut duduk , niscaya akan diberinya juga dengan setengah enggan.
tetapi setelah orang yang baru datang itu dapat membuka hati orang itu dengan
sikapnya yang terbuka, dengan budi bahasanya, dengan senyum manisnya, akhirnya
mereka tidak akan merasa sempit lagi, meskipun memang kelihatannya telah
sempit.
Begitu
pula dalam majlis pengajian dalam masjid atau surau-surau sendiri. Betapapun
sempitnya tempat pada anggapan semula, kenyataannya masih bisa dimuat orang
lagi. Yang di luar disuruh masuk ke dalam, karena tempat masih lebar, meskipun
ada yang telah mendapatkan tempat duduk
itu yang kurang senang melapangkan tempat. Oleh sebab itu maka di dalam ayat
ini diserulah terlebih dahulu dengan panggilan "orang yang beriman",
sebab orang~rang yang beriman itu hatinya lapang, diapun mencintai saudaranya
yang terlambat masuk. Kadang-kadang dipanggilnya dan dipersilahkannya duduk ke
dekatnya. Lanjutan ayat mengatakan.
“Niscaya Allah akan
melapangkan bagi kamu”.
Artinya, karena hati telah dilapangkan
terlebih dahulu menerima teman , hati kedua belah pihak akan sama-sama terbuka.
Hati yang terbuka akan memudahkan segala urusan selanjutnya. Tepat sebagaimana
bunyi pepatah yang terkenal ; " Duduk sendiri bersempit-sempit,duduk
banyak berlapang-alapang." Duduk sendiri fikiranlah yang jadi sempit,
tidak tahu apa yang akan dikerjakan. namun setelah duduk bersama,hati telah
terbuka,musyawarat dapat berjalan dengan lancar, “berat sama dipukul, ringan
sama dijinjing.
Kalau
hati sudah lapang fikiran pun lega , akal pun terbuka dan rezeki yang halal pun
dapat didatangkan Tuhan dengan lancar. Kekayaan yang istimewa dalam kehidupan
ini terutama ialah banyaknya kontak di antara diri dengan masyarakat, banyak
mendapat pertemuan umum. Walaupun seseorang mendapat kekayaan berlipat ganda,
sama saja keadaannya dengan seorang yang miskin kalau hatinya sempit kalau yang
diingatnya hanya keuntungan diri sendiri , sehingga tempat duduk pun enggan memberikan
kepada orang
"Dan jika dikatakan kepada kamu "berdirilah", maka berdirilah!"
"Dan jika dikatakan kepada kamu "berdirilah", maka berdirilah!"
Ar-Razi mengatakan dalam tafsirnya bahwa
maksud dari kata-kata ini adalah dua;
l). Jika disuruh orang kamu berdiri untuk memberikan tempat kepada yang lain yang lebih patut duduk di tempat yang kamu duduki itu, segeralah berdiri! 2). Yaitu jika disuruh berdiri karena kamu sudah lama duduk, supaya orang lain yang belum mendapat kesempatan diberi peluang pula, maka segeralah kamu berdiri! Kalau sudah ada saran menyuruh berdiri, janganlah "berat ekor" seakan akan terpaku pinggulmu di tempat itu, dengan tidak hendak memberikesempatan kepada orang lain.
l). Jika disuruh orang kamu berdiri untuk memberikan tempat kepada yang lain yang lebih patut duduk di tempat yang kamu duduki itu, segeralah berdiri! 2). Yaitu jika disuruh berdiri karena kamu sudah lama duduk, supaya orang lain yang belum mendapat kesempatan diberi peluang pula, maka segeralah kamu berdiri! Kalau sudah ada saran menyuruh berdiri, janganlah "berat ekor" seakan akan terpaku pinggulmu di tempat itu, dengan tidak hendak memberikesempatan kepada orang lain.
Salam
mereka dijawab orang yang telah hadir, tetapi mereka tidak bergeser dari tempat
duduk mereka, sehingga orang-orang yang baru datang itu terpaksa berdiri terus.
Melihat hal itu Rasulullah merasakan kurang senang terutama karena di antara
yang baru datang itu adalah shahabat-shahabat yang mendapat penghargaan
istimewa dari Allah, karena mereka turut dalam peperangan Badr.
Akhirnya
bersabdalah Rasulullah saw. kepada shahabat-shahabat yang bukan ahli-ahli Badr;
"Hai Fulan berdirilah engkau! Hai Fulan,engkau berdiri pulalah!" Lalu
beliau suruh duduk ahli-ahli Badr yang masih berdiri itu. Tetapi yang disuruh
berdiri itu ada yang wajahnya terbayang rasa kurang senang atas hal yang
demikian dan orang munafiq yang turut hadir mulailah membisikkan celaannya atas
yang demikian seraya berkata; "Itu perbuatan yang tidak adil, demi Allah !
Padahal ada orang dari semula telah duduk karena ingin mendekat dan mendengar,
tiba-tiba dia disuruh berdiri dan tempatnya disuruh duduki kepada yang baru
datang. Melihat yang demikian bersabdalah Rasulullah Saw.
"Dirahmati Allah seseorang yang melapangkan tempat buat saudaranya ". ( Ibn Abi Hatim)
Inilah sebab turun ayat menurut riwayat Muqatil bin
Hubban itu. Sebuah riwayat sebab turun ayat lagi diriwayatkan pula dari Ibnu 'Abbas,bahwa
turunnya ayat ini berkenaan dengan Tsabit bin Qais bin Syammas. Yaitu bahwa dia
masuk ke dalam masjid terkemudian,didapatinya orang telah ramai. Sedang dia
ingin sekali duduk di dekat Rasulullah saw., karena telinganya kurang mendengar
(agak pekak). Beberapa orang melapangk:an tempat baginya,tetapi beberapa yang
lain tidak memberinya tempat sehingga terjadi pertengkaran. Akhirnya
disampaikannya kepada nabi saw. bahwa dia ingin duduk mendekati Rasulullah
ialah karena dia agak pekak, tetapi kawan ini tidak memberinya peluang untuk
duduk. "Maka turunlah ayat ini",kata Ibnu 'Abbas;Disuruh orang
memperlapang tempat buat temannya dengan terutama sekali memperlapang hati! Dan
jangan sampai seseorang menyuruh orang lain berdiri karena dia ingin hendak
menduduki tempatnya tadi.
Lain
keterangan lagi ialah bahwa mereka berduyun dan semua ingin paling dekat kepada
nabi. Maka turunlah ayat ini menyuruh memerlapang tempat untuk yang datang di
belakang,dan kalau Nabi menyuruh berdiri segeralah berdiri,biar berikan pula tempat
kepada yang baru datang,jangan hendak dikangkangi tempat itu untuk diri sendiri.
Lama-lama
bertambah teraturlah majlis itu. Karena masing-masing orang telah tahu hormat
menghormati , yang tua patut dituakan , yang lebih berjasa patut dilebihkan.
karena Nabi saw. pernah pula bersabda;
"Supaya mengelilingiku orang-orang yang mempunyai pandangan jauh dan lanjutan."(riwayat Imam Akhmad)
Sejak
itu artinya orang-orang tua atau dituakan dijaga sajalah mana yang patut di
muka biarlah dia di muka. Biasanya Abubakar di sebelah kanan beliau,'Umar di
sebelah kiri,sedang 'Utsman dan 'Ali duduk di hadapan beliau,sebab keduanya
kerapkali diberi tugas mencatat wahyu kalau kebetulan turun. Begitu menurut
yang dirawikan oleh Muslim.
Ar-Raziy
mengatakan dalam tafsirnya bahwa berkat pengaruh kelapangan tempat duduk karena
hati yang lebih dahulu lapang itu, karena mereka memang banyak memang sempitlah
tempat mereka duduk itu, tetapi tidak terasa sebab masing-masing melapangkan
hati malahan silah menyilahkan, panggil memanggil. Dan kalau ada yang terpaksa
meninggalkan majlis sebentar untuk sesuatu hajat, tidak ada yang mau
menggantikan tempat duduk itu, kecuali kalau dia mengatakan tidak akan kembali
lagi karena sesuatu uzur yang lain.
Ar-Razi
mengatakan bahwa ayat ini menunjukkan bahwa apabila seseorang berlapang hati
kepada sesamanya hamba Allah dalam memasuki serba aneka pintu kebajikan dan
dengan kesenangan fikiran, niscaya Allah akan melapangkan pula baginya
pintu-pintu kebajikan di dunia dan di akhirat. Sebab itu kata Razi selanjutnya
tidaklah selayaknya orang yang berakal cerdas membatasi ayat ini hanya sekedar
melapangkan tempat duduk dalam suatu majlis bahkan luaslah yang dimaksud oleh
ayat ini yaitu segala usaha bagaimana agar suatua kebajikan dan kemanfaatan
sampai kepada sesama Muslim,bagaimana supaya hatinya jadi senang,bagaimana
membuat kita gembira dalam hatinya dan menghilangkan perasaannya yang tertekan,
termasuklah semuanya dalarn cakupan ayat ini. Sesuai dengan sabda Rasulullah
saw.
"Senantiasalah Allah akan menolong seorang hambaNya, selama hamba itu pun masih bersedia menolong sesamanya Muslim." ( dirawikan oleh Muslim, Abu Dawud dan At-Tarmidzi ; susunan kata dari riwayatnya.)
Selain
dari itu ada lagi beberapa peraturan sopan santun yang berkenaan dengan shaff
pula, terutama pada sembah yang berjamaah lima waktu. Orang dianjurkan berlomba
menuju shaff yang pertama. Maka pada hari jum'at, banyaklah orang-orang yang
dianggap tidak pantas menurut "shaff dunia" berlomba duduk ke shaff
yang pertama. Mereka cepat-cepat datang ke Masjid karena melaksanakan anjuran
Nabi saw, lebih lekas ke masjid lebih baik, dan pahalanya lebih besar. Tetapi
kerapkali kejadian, orang-orang yang dipandang mendapat kedudukan duniawi yang
lebih tinggi terlambat datang. Lalu beliau dipersiilahkan datang di shaff yang
pertama, bahkan kadang-kadang sajadah dan tempat duduk beliau telah tersedia.
Maka kalau beliau datang tidak lagi boleh orang lain yang telah datang lebih
dahulu disuruh meninggalkan shaffnya dan pindah ke shaff belakang, hanya
semata-mata karena dia bukan "orang terpandang. "Nabi saw. bersabda;
"Janganlah berdiri seseorang dari majlisnya untuk seorang yang lain tetapi lapangkanlah, niscaya Allah akan melapangkanmu pula."
(Dirawikan oleh
Imam Ahmad )
"Allah akan mengangkat orang-orang yang
beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat "
Sambungan ayat ini punmengandung
dua tafsir. Pertama jika seseorang disuruh melapangkan majlis, yang berarti melapangkan
hati, bahkan jika dia disuruh berdiri sekali pun lalu memberikan tempatnya
kepada orang yang patut didudukkan di muka, janganlah dia berkecil hati.
Melainkan hendaklah dia berlapang dada. Karena orang yang berlapang dada itulah
kelak yang akan diangkat Allah imannya dan ilmunya, sehingga derajatnya
bertambah naik. Orang yang patuh dan sudi memberikan tempat kepada orang lain
itulah yang akan bertambah ilmunya.
Kedua memang ada orang yang diangkat Allah derajatnya lebih tinggi dari pada orang kebanyakan, pertama karena imannya, kedua karena ilmunya Setiap hari pun dapat kita melihat pada raut rnuka, pada wajah, pada sinar mata orang yang beriman dan berilmu. Ada saja tanda yang dapat dibaca oleh orang yang arif bijaksana bahwa si Fulan ini orang beriman, si fulan ini orang berilmu. Iman memberi cahaya pada jiwa, disebut juga pada moral. Sedang ilmu pengetahuan memberi sinar pada mata. Iman dan ilmu membuat orang jadi mantap. Membuat orang jadi agung, walaupun tidak ada pangkat jabatan yang disandangnya. Sebab cahaya itu datang dari dalam dirinya sendiri, bukan disepuhkan dari luar. " Dan Allah denga apa pun yang kamu kerjakan, adalah Maha Mengetahui"(Ujung ayat 11).
Kedua memang ada orang yang diangkat Allah derajatnya lebih tinggi dari pada orang kebanyakan, pertama karena imannya, kedua karena ilmunya Setiap hari pun dapat kita melihat pada raut rnuka, pada wajah, pada sinar mata orang yang beriman dan berilmu. Ada saja tanda yang dapat dibaca oleh orang yang arif bijaksana bahwa si Fulan ini orang beriman, si fulan ini orang berilmu. Iman memberi cahaya pada jiwa, disebut juga pada moral. Sedang ilmu pengetahuan memberi sinar pada mata. Iman dan ilmu membuat orang jadi mantap. Membuat orang jadi agung, walaupun tidak ada pangkat jabatan yang disandangnya. Sebab cahaya itu datang dari dalam dirinya sendiri, bukan disepuhkan dari luar. " Dan Allah denga apa pun yang kamu kerjakan, adalah Maha Mengetahui"(Ujung ayat 11).
Ujung
ayat ini ada patri ajaran ini. Pokok hidup utama adalah Iman dan pokok
pengiringnya adalah Ilmu. Iman tidak disertai ilmu dapat membawa dirinya
terperosok mengerjakan pekerjaan yang disangka rnenyembah Allah, padahal
mendurhakai Allah. Sebaliknya orang yang berilmu saja tidak disertai atau yang tidak membawanya
kepada iman, maka ilmunya itu dapat membahayakan bagi dirinya sendiri ataupun
bagi sesama manusia Ilmu manusia tentang tenaga atom misalnya , alangkah
penting ilmu itu, itu kalau disertai Iman Karena dia akan membawa faedah yang
besar bagi seluruh peri kemanusiaan. Tetapi ilmu itupun dapat dipergunakan
orang untuk memusnahkan sesamanya manusia, karena jiwanya tidak dikontrol oleh
Irnan kepada Allah.
c. M.Quraish
Shihab (Tafsir Al-Misbah)
Larangan berbisik yang
diturunkan oleh ayat-ayat yang lalu merupakan salah satu tuntunan akhlak, guna
membina hubungan harmonis antar sesama. Berbisik di tengah orang lain
mengeruhkan hubungan melalui pembicaraan itu. Ayat di atas merupakan tuntunan
akhlak yang menyangkut perbuatan dalam majlis untuk menjalin harmonisasi dalam
satu majelis.Allah berfirman: “ Hai orang-orang yang beriman, apa bila
dikatakan kepada kamu” oleh siapa pun: Berlapang-lapanglah[10] Yaitu
berupayalah dengan sungguh-sungguh walau dengan memaksakan diri untuk memberi tempat orang lain dalam
majlis-majlis yakni satu tempat, baik tempat duduk maupun bukan tempat
duduk, apabila diminta kepada kamu agar melakukan itu maka lapangkanlah
tempat untuk orang lain itu dengan suka
rela. Jika kamu melakukan hal tersebut, niscaya Allah akan melapangkan
segala sesuatu buat kamu dalam hidup ini. Dan apabila di
katakan:”Berdirilah kamu ketempat yang lain, atau untuk diduduk tempatmu
buat orang yang lebih wajar, atau bangkitlah melakukan sesuatu seperti untuk
shalat dan berjihad, maka berdiri dan bangkit-lah, Allah akan
meninggikan orang- orang yang beriman di antara kamu wahai yang
memperkenankan tuntunan ini.dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan
beberapa derajat kemudian di dunia dan di akhirat dan Allah terhadap
apa-apa yang kamu kerjakan sekarang dan masa akan datang Maha
Mengetahui.[11]
Ada riwayat yang
menyatakan bahwa ayat di atas turun pada hari Jum’at. Ketika itu Rasul saw.
berada di suatu tempat yang sempit, dan telah menjadi kebiasaan beliau memberi
tempat khusus buat para sahabat yang terlibat dalam perang Badr, karena
besarnya jasa mereka. Nah, ketika majlis tengah berlangsung, beberapa orang di
antara sahabat-sahabat tersebut hadir, lalu mengucapkan salam kepada Nabi saw.
Nabi pun menjawab, selanjutnya mengucapkan salam kepada hadirin, yang juga
dijawab, namun mereka tidak memberi tempat. Para sahabat itu terus saja
berdiri, maka Nabi saw. memerintahkan kepada sahabat-sahabatnya yang lain-yang
tidak terlibat dalam perang Badr untuk mengambil tempat lain agar para sahabat
yang berjasa itu duduk di dekat Nabi saw. perintah Nabi itu, mengecilkan hati
mereka yang disuruh berdiri, dan ini digunakan oleh kaum munafikin untuk
memecah belah dengan berkata “katanya muhammad berlaku adil, tetapi ternyata
tidak.” Nabi mendengar keritik itu bersabda: “Allah merahmati siapa yang
memberi kelapangan bagi saudaranya.” Kaum beriman menyambut tuntunan Nabi dan
ayat di atas pun turun mengukuhkan perintah dan sabda Nabi itu.
Apa yang dilakukan
Rasul saw. terhadap sahabat-sahabat beliau yang memiliki jasa besar itu dikenal
juga dalam pergaulan internasional dewasa ini. Kita mengenal ada yang dinamai
peraturan protokoler, di mana penyandang kedudukan terhormat memiliki
tempat-tempat terhormat di samping kepala Negara karena memang penegasan
al-Qur’an, bahwa:
“Tidaklah sama antara mukmin yang duduk- selain yang
mempunyai udzur- dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta
mereka dan jiwa mereka atas orang-orang yang duduk, satu derajat. Kepada
masing-masing, Allah menjajnjikan pahala yang besar (Qs. An-Nisa :95 (baca juga
firmannya dalam Qs al-Hadid : 10)
Kata ( ) tafassaḫû dan ifsaḫû ( )terambil dari kata fasaḫa ( )yakni
lapang. Sedang kata unsyuzû( )
terambil dari kata nûsyuz ( )yankni tempat yang tinggi. Perintah
tersebut pada mulanya berarti beralih ketempat yang lebih tinggi. Yang
dimaksud di sini pindah ketempat lain untuk memberi kesempatan yang lebih wajar
duduk atau berada di tempat wajar pindah itu, atau bangkit melakukan suatu
aktifitas positif. Ada yang memahaminya berdirilah dari rumah Nabi, jangan berlama-lama
di sana, karena boleh jadi ada kepentingan Nabi saw. Yang lain dari yang perlu
segera dia hadapi.
Kata majȃlis ( ) adalah bentuk jamak dari
kata majlis ( ).
Pada mulanya berarti tempat duduk. Dalam konteks ayat ini adalah tempat
Nabi Muhammad saw. Membert tuntunan agama ketika itu. Tapi yang dimaksud di
sini adalah tempat keberadaan secara mutlak, baik tempat duduk, tempat
berdiri atau bahkan tempat berbaring. Karena tujuan perintah atau tuntunan ayat
ini adalah memberi tempat yang wajar serta mengalah kepada orang-orang
dihormati atau yang lemah. Seorang tua non-muslim sekalipun, jika anda-wahai
yang muda-duduk di bus, atau kereta, sedang dia tidak mendapat tempat duduk,
maka adalah wajar dan berdab jika anda berdiri untuk memberinya tempat duduk.
Ayat di atas tidak
menyebut secara tegas bahwa Allah akan meninggikan
derajat orang berilmu. Tetapi menegaskan bahwa mereka memiliki derajat-derajat
yakni lebih tinggi sekedar beriman. Tidak disebutnya kata meninggikan itu,
sebagai isyarat bahwa sebenarnya ilmu yang didmilikinya itulah yang berperanan
besar dalam ketinggian derajat yang diperolehnya, bukan akibat dari faktor di
luar ilmu itu.
Tentu saja yang di
maksud dengan alladzȋnaûtû al-‘ilmu/yang diberi pengetahuan adalah
mereka yang beriman dan menghiasi diri mereka dengan pengetahuan. Ini berarti
ayat di atas membagi kaum beriman kepada dua kelompok besar, yang pertama
sekedar beriman dan beramal shaleh, dan yang kedua beriman dan beramal shaleh
serta memiliki pengetahuan. Derajat kelompok kedua ini menjadi lebih tinggi,
bukan saja karena nilai ilmu yang disandangnya, tetapi juga amal pengajarannya
kepada pihak lain secara lisan, atau tulisan maupun dengan keteladanan.
Ilmu yang di maksud
ayat di atas bukan hanya ilmu agama tetapi ilmu apapun yang bermanfaat. Dalam
QS. 35: ayat 27-28. Allah meguraikan sekian banyak mahluk Ilahi, dan fenomena
alam, lalu ayat tersebut ditutup dengan menyatakan bahwa: yang takut dan kagum
kepada Allah dari hamba-hambanya hanyalah ulama, ini menunjukkan bahwa ilmu
dalam pandangan al-Qur’an bukan hanya ilmu agama. Di sisi lain juga menujukkan
bahwa ilmu haruslah menghasilkan khasyyah yakni rasa takut dan kagum
kepada Allah, yang pada gilirannya mendorong yang berilmu untuk mengamalkan
ilmunya serta memanfaatkan untu kepentingan mahkluk, Rasul sering kali berdo’a “Allahuma
inni a’udzu bika min ‘ilm(in) la yanfa’ (Aku berlindungan kepada-Mu dari
ilmu yang tidak bermanfaat).”
(khusus kamu) itu-
sedekah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagi kamu dan lebih suci: jika
kamu tidak memperoleh maka sesungguhnya Allah maha pengampun lagi maha
penyayang.”
Ayat
di atas kembali berbicara tentang pembicaraan rahasia, yang telah dibicarakan
sejak ayat ke 7 sampai dengan ayat 10 lalu diselingi oleh tuntutan keberadaan dalam
suatu majelis. Ayat diatas kembali berbicara tentang hal tersebut sebagai
penjabaran dari perintah melakukan pembicaraan yang mengandung kebajikan dan
ketakwaan.
d. Ahmad
Musthafa Al-Muraghi (Tafsir al-Maraghi)
Ayat ini mencakup pemberian kelapangan dalam
menyampaikan segala macam kebaikan kepada kaum muslimin dan yang
menyenangkannya. Dan Allah SWT akan meninggikan derajat orang-orang mukmin
dengan mengikuti perintah-perintah-Nya, khususnya orang-orang yang berilmu
diantara mereka, derajat-derajat yang banyak dalam hal pahala dan
tingkat-tingkat keridhaan.
e. Shafwah at-Tafaasir
Ayat ini menjelaskan untuk saling mamberi kelapangan
yaitu pada apa-apa yang dibutuhkan manusia pada tempat, rizki, hati dan juga
menunjukan bahwa setiap orang yang meluaskan majlis untuk beribadah kepada
Allah SWT, maka Allah akan membuka pintu-pintu kebaikan dan kebahagiaan dan
Allah akan meluaskan baginya di dunia dan akherat.Allah SWT akan mengangkat
orang-orang mukmin dengan perumpamaan dan perintah-Nya dan perintah Rasul-Nya,
orang-orang yang pandai di antara mereka pada khususnya tingkatan yang tinggi.
Allah SWT memberi derajat yang tinggi sampai dengan surga.Ayat ini sebagai
pujian kepada para ulama yang mempunyai kelebihan dengan ilmunya, dalam arti
Allah SWT mengangkat orang yang beriman dan berilmu di antara orang mukmin.
Sebagaimana safaat kepada tiga orang yaitu para Nabi, ulama, syuhada. Dan
keutamaan ilmu dalam keimanan sebagai simbol manusia yang mendapat derajat yang
tinggi di sisi Allah SWT.
f. Dalam tafsir Fakhrur Razi
Ayat ini menunjukan pada setiap orang yang meluaskan
majlis untuk beribadah kepada Allah SWT dan dibukakan beberapa pintu kebaikan
dan kebahagiaan, berupa kebaikan di dunia dan akherat. Dan Allah SWT mengangkat
orang yang beriman dengan perumpamaan perintah Rasul-Nya dan orang-orang alim
di antara mereka khususnya dalam hal derajat. Karena keutamaan ilmu adalah
Dalam al-Qur'an dan tafsirnya Dalam ayat ini menerangkan bahwa jika disuruh
Rasulullah SAW berdiri untuk memberikan kesempatan kepada orang tertentu agar
ia dapat duduk, atau kamu disuruh pergi dahulu hendaknya kamu pergi, karena
Rasul ingin memberikan penghormatan kepada orang-orang atau beliau ingin
menyendiri untuk memikirkan urusan-urusan agama, atau melaksanakan tugas-tugas
yang perlu diselesaikan. Akhir ayat ini menerangkan bahwa Allah SWT akan
mengangkat derajat-derajat orang yang beriman, yang taat dan patuh kepada-Nya,
melaksanakan perintah-Nya, menjauhi larangan-Nya dan berusaha menciptakan
suasana damai, aman dan tentram dalam masyarakat, demikian pula orang yang
berilmu yang menggunakan ilmunya untuk menegakan kalimat Allah SWT. Dari ayat
ini dipahami bahwa orang-orang yang mempunyai derajat yang paling tinggi di
sisi Allah SWT ialah orang yang beriman, berilmu dan ilmunya itu yang diamalkan
sesuai dengan yang diperintahkan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya.
F. Analisis Isi Kandungan Ayat
Adapun esensi atau nilai yang terkandung di dalam
surah Al-Mujadalah yakni terkait dengan etika dan sopan santun di dalam
pendidikan islam dan khusunya pada ayat 11 adalah berhubungan dengan materi pendidikan dalam islam sehingga dapat di
analisis sebagai berikut:
1. Kajian Tekstual
Kata “majalis” yang merupakan bentuk jamak dari kata “majlis”
pada ayat ini mengandung beberapa penafsiran;
1. Menurut Mujahid, yang dimaksud dengan “Majlis” pada ayat ini adalah majlis
Nabi Saw.
2. Qotadah, mengatakan bahwa yang dimaksud dengan majlis pada ayat ini adalah
majlis dzikir.
3. Mutaqil berpendapat bahwa majlis di sini adalah majlis pada hari jum’at.
4. Hasan, Yazid bin Habib serta Ibnu Abbas berpendapat bahwa majlis disini
mengandung arti medan perang atau medan pertempuran.[12]
Sementara itu, Qatadah, Dawud bin Abi Hind dan Hasan[13]
membaca “Tafassahu dengan “Tafasaahu”, dengan memanjangkan”fa”-nya. Akar
katanya diambil dari kata “Tafassaha-yatafasahu-tafasuhan”, artinya
lapang/kelapangan atau keluasan, atau dari kata “tafaasaha-yatafaasahu
muthawa’ah, yaitu saling berlapang-lapangan. Hal ini mengandung tiga interpretasi
mengenai apa yang akan dilapangkan atau diluaskan oleh Allah Swt, yaitu ;
a. Keluasan di dalam kubur;
b. Kelapangan dada/hati;
c. Keluasan didunia dan di akhirat.
Muhammad Mahmud Hijaji[14]
mengemukakan bahwa tafassahu memiliki arti kata yang sama dengan tawassa’u,
yakni keluasan. Maka barang siapa yang memberikan keluasan keapa saudaranya
dalam suatu tempat/majlis dan menghormatinya, niscaya Allah akan memberikan
kepada orang tersebut keluasan dan kemuliaan.
Kata unsuju merupakan bentuk perintah (fi’il Amar)
dari kata “nasaja-yansuju-nasjan-nusujan-naasijun-unsuj” yang mempunyai
dua makna, yaitu pertama, “quumu” (berdirilah), dan kedua, “irtafa’u”
(tingkatkanlah). Muhammad Mahmud Hajiji mengatakan bahwa asal pengertian
nusuj itu adalah suatu yang di angkat oleh tanah.
Perintah yang terkandung dalam lafadz “unsuju” menunjukan
tiga perintah yakni ;
a. Menurut al-Dhahak, perintah melaksankan shalat;
b. Menurut Mujahid, perintah untuk berperang;
c. Menurut Qatadah, perintah mengerjakan setiap kebaikan.
Kata
ilmu dengan berbagai bentuknya terulang 854 kali dalam al-Qur’an. Kata ini
digunakan dalam arti proses pencapaian pengetahuan dan objek pengetahuan. Kata
ilmu dari berbagai memiliki arti kejelasan,[15]
karena itu segala yang terbentuk dari akar katanya mempunyai ciri kejelasan.
Misalnya dapat dilihat dalam contoh ‘a’lam (gunung-gunung), ‘alamat dan
lain sebagainya.
Disamping itu untuk
mengetahui lebih lanjut mengenai pengertian ilmu, paling tidak beberapa kata
yang mengandung pengertian “tahu” seperti “’arafa, dara’a,
khabara, sya’ara, basyirah, hakim. Kata-kata turunan dari kata ‘arafa dalam
al-Quran terdapat sebanyak 34 kali[16]
dengan berbagai bentuknya. Oleh karena itu kata ‘ilmu bersinonim dengan
kata ma’rifah, yang artinya tahu atau pengetahuan.
Dalam proses perkembangan
sejarahnya, ilmu kemudian dipakai dalam dua hal; yaitu sebagai masdar atau
proses pencapaian ilmu dan sebagai objek ilmu (ma’lum). Namun demikian,
M.Quraish shihab membedakan tiga istilah
yang memiliki akar kata yang hampir sama dengan ilmu, yaitu ‘arafa
(mengetahui), ‘arif (yang mengetahui)
dan ma’rifah (pengetahuan). Allah SWT, tidak dinamakan ‘arif,
tetapi ‘alim, yang berkata kerja ya’lam (Dia mengetahui), dan
biasanya al-Quran menggunakan kata itu untuk Allah dalam hal-hal yang diketahui-Nya,
walaupun gaib, tersembunyi atau dirahasiakan.
Dalam
pandangan Al-Quran, ilmu adalah keistimewaan yang menjadikan manusia unggul dan
melebihi dari makhluk-makhluk lain guna menjalankan kekhalifahan di muka bumi
ini. Sementara itu manusia, menurut al-Quran memiliki potensi untuk meraih ilmu
dan mengembangkannya dengan seizin Allah. Berkali-kali Allah menunjukan betapa
tinggi derajat dan kedudukan orang-orang yang memiliki ilmu pengetahuan.
2. Kajian Kontekstual
Setiap ilmu pengetahuan (science, wetwnschp.
Wisssenshaft) ditentukan oleh objeknya. Ada dua macam objek ilmu, yaitu
objek materia dan manusia. Oleh karena itu ada ahli yang membagi ilmu menjadi dua
bagian besar, yaitu ilmu pengetahuan alam dan ilmu pengetahuan manusia.[17]
Menurut ilmuwan Muslim objek ilmu mencakup alam materi
dan nonmateri. Karena itu, sebagian ilmuwan Muslim, khususnya kaum sufi melalui
ayat-ayat al-Quran memperkenalkan ilmu yang mereka sebut al-Hadharat
Al-Ilahiyyah al-Khams (lima kehadiran
Ilahi) untuk menggambarkan hierarki keseluruhan realitas wujud. Ke lima
hal tersebut adalah 1) alam nasut (alam materi), 2)alam malakut (alam
kejiwaan), 3)alam jabarut (alam ruh), 4)alam lahut (sifat-sifat
ilahiyah), dan 5) alam hahut (wujud zat Ilahi )
Sementara itu,Fudyartana, dosen psikologi Universitas
Gajah Mada, menyebutkan ada empat macam fungsi ilmu pengetahuan,Yaitu:
a. fungsi deskriptif yakni menggambarkan,
melukiskan dan memaparkan suatu objek atau masalah sehingga mudah dipelajari
oleh peneliti;
b. fungsi pengembangan, yaitu melanjutkan
hasil penemuan yang lalu dan menemukan hasil ilmu pengetahuan yang baru:
c. pungsi prediksi; meramalkan
kejadian-kejadian yang besar kemungkinan
terjadi sehingga manusia dapat mengambil tindakan-tindakan yang perlu dalam
usaha menghadapinya;
Jadi tegasnya, bahwa fungsi ilmu pengetahuan adalah
untuk kebutuhan hidup manusia didalam berbagai bidangnya, hal ini tergambar
dari wahyu pertama (lihat,Q.S.Al-Alaq;1-5).
Al-Quran menginformasikan
kepada umat manusia bahwa ada beberapa alat yang dapat digunakan untuk meraih
ilmu pengetahuan, diantaranya:
1. panca indra dan akal.
yakni ada empat sarana yang dapat digunakan untuk memperoleh ilmu, yaitu
pendengaran, mata (penglihatan), akal dan hati.
2. Observasi dan trial and error (coba-coba), pengamatan, percobaan dan
probability (tes-tes kemungkinan).
3. Akal (intellenc) dan pemikiran (reflection)
Disamping mata, telinga, dan pikiran sebagai sarana untuk meraih
pengetahuan. Al-Quran pun menggaris bawahi bagaimana pentingnya peran kesucian
hati. Ilmu pengetahuan akan mudah diraih dan dipahami dengan baik, apabila hati
seorang itu bersih. Dari sinilah para ilmuan Muslim menerangkan pentingnya Takziah
al-Nafs (penyucian jiwa) guna memperoleh hidayah (petunjuk dan
pengajaran serta bimbingan Allah). Bahkan dianjurkan bagi seetiap kali akan
belajar untuk mensucikan diri untuk mengambil air wuudhu terlebih dahulu,
karena mereka sadar akan kebenaran firman Allah.
Berkali-kali Allah
menegaskan bahwa tidak cukup hanya dengan panca indra, pengamatan, dan hati
saja untuk meraih ilmu pengetahuan, tanpa diiringi dengan hidayah
(petunjuk) dan bimbingan Allah, karena Allah tidak akan memberikan petunjuk
kepada al-Zalimin (orang-orang yang zhalim), al-Khafirin (orang-orang
kafir), al-Fasiqin (orang-orang fasik), man yudhil (orang-orang
yang disesatkan) dan lain sebagainya.
Memang, yang durhaka dapat
saja memperoleh ilmu Tuhan secara Kasbi, akan tetapi yang mereka peroleh
itu terbatas pada bagian fenomena alam, bukan hakikat (nomena). Bukan pula yang
berkaitan dengan realitas di luar alam materi.
Disamping ilmu
mempunyai nilai manfaat yang sangat
besar orang yang memilikinya, ilmu pun harus diamalkan. Bahkan dalam salah satu
hadist Rasulullah menegaskan bahwa salah satu amal yang tidak akan putus
pahalanya, sekalipun orang yang sudah tiada adalah ilmu yang bermanfaat. Yakni
ilmu yang memberikan jalan bagi setiap yang memilikinya untuk berbuat baik
sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh Allah SWT.
Dari konsep diatas, dapat
dipahami bahwa al-Quran memandang bahwa seseorang yang memiliki ilmu harus
memiliki sifat dan ciri tertentu, antara lain sifat khasyat atau takut kepada
Allah.[19]
Jadi semakin banyak ia memiliki ilmu, maka harus semakin takut semakin takut
dan dekat kepada Allah. Salah satu bentuk takut kepada-Nya adalah ikhlas
mengamalkan ilmunya.[20]
G. Penutup/Simpulan
Dari beberapa uraian diatas dapat disimpulkan bahwa Q.S.Al-Mujadalah ayat
11 ini memberikan gambaran
tentang perintah bagi setiap manusia untuk menjaga adab sopan santun dalam
suatu majlis pertemuan dan adab sopan santun terhadap Rasulullah Saw.
Al-Mujadalah merupakan salah satu surat dalam al-qur’an dengan jumlah 22 ayat.
Surat ini turun di Madinah. Yang tditurunkan sesudah surat Al-Munaafiqun. [21]Termaksud
golongan surat madaniyah yang diturunkan sesudah surat al-Munafiqun.
Adapun isi kandung Q.S. Al-Mujadalah
ayat 11 ini berhubugan dengan etika dan sopan pendidikan yakni:
1. Kajian Tekstual
Dalam pandangan Al-Quran, ilmu adalah keistimewaan
yang menjadikan manusia unggul dan melebihi dari makhluk-makhluk lain guna
menjalankan kekhalifahan di muka bumi ini. Sementara itu manusia, menurut
al-Quran memiliki potensi untuk meraih ilmu dan mengembangkannya dengan seizin
Allah. Berkali-kali Allah menunjukan betapa tinggi derajat dan kedudukan
orang-orang yang memiliki ilmu pengetahuan.
2. Kajian Kontekstual
Al-Quran menginformasikan kepada umat manusia bahwa
ada beberapa alat yang dapat digunakan untuk meraih ilmu pengetahuan,
diantaranya:
1. panca indra dan akal.
yakni ada empat sarana
yang dapat digunakan untuk memperoleh ilmu, yaitu pendengaran, mata
(penglihatan), akal dan hati.
2. Observasi dan trial and error (coba-coba), pengamatan, percobaan dan
probability (tes-tes kemungkinan).
3. Akal (intellenc) dan pemikiran (reflection)
Disamping mata,
telinga, dan pikiran sebagai sarana untuk meraih pengetahuan. Al-Quran pun menggaris
bawahi bagaimana pentingnya peran kesucian hati. Ilmu pengetahuan akan mudah
diraih dan dipahami dengan baik, apabila hati seorang itu bersih. Dari sinilah
para ilmuan Muslim menerangkan pentingnya Takziah al-Nafs (penyucian
jiwa) guna memperoleh hidayah (petunjuk dan pengajaran serta bimbingan
Allah).
DAFTAR PUSTAKA
Al-Maraghi,
Ahmad Musthofa, Tafsir al-Maraghi 1,
terj. Bahrun Abu Bakar, Beirut: Darul Kutub.
AbiHasan,Albassry , An-Nukt
wa Al-Uyun Tafsir Al-mawardy,juz . dar al- Kutubal-islamiyyah, Beirut Libnan.
Anwar,Cecep,2015.Tafsir
Ayat-ayat Pendidikan.Bandung
as-suyuthi,jalaludin, sebab
turunnya ayat alqur’an, depok: gema insane, 2008.
Burhanudin,Undang,Tafsir Kontemporer,insan mandiri,Bandung
Fuad Al-Baqi,Muhammad,Al-Mu’jam al0Mufahras lil al-fadz
al-Qur’an, beirut: Dar al-Fikr, 1992
Gofarfar
E.M,M.Abdul.Tafsir Ibnu Katsir (Lubaabut Tafsiir Min Ibni Katsiir).Bogor: Pustaka Imam Asy-Syafi’i.
Hamka. Tafsir Al-azhar. PT Pustaka Panji Mas. Jakarta:198
Mahmud Hijaji,muhammad, Al-Tafsir al-Wadih, Kairo:Mathaba’h
al-Istiqbal al-Kubra,1968
Saefuddin Anshari,Endang,
ilmu Filsafat dan agama,: PT.
Bina Ilmu surabaya, 1987
Shihab, M.
Quraish, Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan
Peran Wahyu dalam KehidupanMasyarakat, Bandung: Mizan, 2007.
________, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan
Keserasian al-Qur’an, Vol.I, Jakarta: Lentera Hati, 2002.
,
Wawasan Al-Qur’an Tafsir Maudhu’i atas Berbagai Persoalan Umat,Mizan,Bandung
[1]
M.Quraish shihab,Membumikan Al-Qur’an.Mizan, Bandung, 1996, hal, 67.
Lihat pula kamus al-Munjid dan Lisan al-Arab
[2]
Q.S.Al-‘Alaq ayat 1-5
[3]
Lihat Q.S.Al-Hujurat,ayat 13.
[4]
Lihat Q.S.An-Nahl, ayat 78.
[5]
Undang Burhanudin,Tafsir Kontemporer,insan mandiri,Bandung,hal 71
[6]
Jalaluddin as-suyuthi, sebab turunnya ayat alqur’an, (depok: gema insane,
2008), hlm.554
[7] Ahmad musthofa al-maraghi, terjemah
tafsir al maraghi 28, (semarang: toha putra, 1993), hlm.23-24
[9]
HR. Muslim.
[10][14]Berlapang-lapanglah kita dalam
suatu pertemuan/majelis dengan memberikan tempat kepada saudara-saudara kita
yang baru datang
[11][15]M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan
Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Volume XIV, Jakarta: Lentera Hati. 2006 .
hlm., 77
[12] Ahmad Mustafa Al-Muragi,Tafsir Al-Muragi, juz. 18,
hal.15.Lihat Tafsir Ibnu Katsir Al-Durru Al-Mantsur,hal 82
[13] Al-Bashry, Abi Hasan Ali bin Muhammad bin Habib
Al-Mawardy, An-Nukt wa Al-Uyun Tafsir Al-mawardy,juz . dar
al-Kutubal-islamiyyah, Beirut Libnan.
[14] Muhammad Mahmud Hijaji, Al-Tafsir al-Wadih, juz 21,
hal 9,Mathaba’ah al-Istiqbal al-Kubra, Kairo,1968 dia mengatakan “idz al-Jala min Jins
al-‘amanah.
[15] M.Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an Tafsir Maudhu’i
atas Berbagai Persoalan Umat,Mizan,Bandung, hal. 434.
[16] Muhammad Fuad Al-Baqi, Al-Mu’jam al0Mufahras
lil al-fadz al-Qur’an, beirut, Dar al-Fikr, 1992, hal 596.
[17] Endang Saefuddin
Anshari, ilmu, Filsafat dan agama, PT. Bina Ilmu surabaya, 1987, hal.50.Lihat
M.Quraish Shihab, op.cit,.hal 436.
[18] Endang Saefuddin Anshari, Op. Cit.,hal.
60-61.
[19]Ahmad
Tafsir, Ilmu pengetahuan dalam perspektif Islam, PT. Remaja
Rosdaknya,Bandung,1992,hal.22.